EPISODE
TUJUH
Siapa ya?
Hari
ini terjadi keajaiban. Engkau menyapaku dengan hangat diiringi bonus senyuman
manis. Aku yang sedang berusaha menghindar berpapasan denganmu, mau tak mau
akhirnya menoleh juga. Sepertinya lapangan bola ini tidak cukup luas untuk
menyembunyikan kerdilnya tubuh ini, agar tak terlihat olehmu. “Mau kemana?”
kamu menyapaku tiba-tiba. Aku yang masih belum percaya dengan keadaan ini,
semakin terlihat canggung. Berdiri diantara sekian banyak orang tetapi hanya
aku yang terdiam mematung sambil memandangmu. “Siapa ya?” Pertanyaan konyol
yang tiba-tiba keluar dari mulutku tanpa tersadar. “Aneh, nggak suka aku”
ucapmu sambil menepuk bahuku. “Ayukk, ikut aku, aku mau mengajakmu bercerita
tentang tanah dan awan lagi” ujarmu sambil langsung menarik tanganku. Menjauh
dari kerumunan orang di lapangan bola yang luas ini.
Aku
yang masih belum terbiasa dengan keadaan ini, terus menanyakan teori kenyataan
dan khayalan yang mungkin saja sedang terjadi saat ini. Ini nyata ataukah
khayalan? “Biar saja ah”. Aku sudah lelah terus berusaha menghindar darimu.
Bertemu sekali saja, cukuplah untuk bisa tahu bagaimana kabarmu sekarang.
Sudut
Selatan lapangan bola ini, begitu teduh. Pohon Jati yang tumbuh diluar
lapangan, banyak membantu teduhnya sudut ini dengan dahannya yang kokoh.
Daunnya yang masih hijau segar ikut menambah suasana menjadi nyaman untuk
dipakai duduk. Penjual kacang rebus yang sedang menjajakan dagangannya tiga
meter dari tempat kami duduk, membuat kita saling melemparkan senyum simpul. “Kesukaanku”
katamu tiba-tiba sambil menggerakkan kepala kearah penjual kacang rebus itu.
Aku hanya tersenyum saja menanggapi celotehmu.
Tanah
dan awan. Seperti sebuah judul cerita legenda kuno tentang kehidupan jaman raja
dan ratu dalam dunia wayang. Aku sempat bertanya, kenapa engkau selalu
menggunakan kiasan tanah dan awan dalam setiap kesempatan ingin bercerita.
“Ahhh…bukannya tanah dan awan memang asyik untuk dibahas?” jawabmu saat itu.
Sama
seperti saat ini. Engkau langsung bercerita penuh semangat. Tentang hari-harimu
selama ini. Tentang pekerjaanmu. Tentang kawan-kawanmu yang begitu banyak watak
dan tingkah laku. Tentang dia yang sekarang masih saja engkau rindukan.
“Seandainya aku menjadi awan, pasti dia adalah tanahku” ujarmu. “Dia akan
sanggup menunggu, kapan aku turun menjamah tanah dalam bentuk air hujan dan
bagaimana bahagianya aku dan dia jika itu terjadi” engkau mengatakannya sambil
pandanganmu mengarah keatas, melihat awan. Aku hanya terdiam. Bingung harus
menjawab apa. Sebab saat seperti inilah, dirimu bisa melupakan jarak pemisah
yang tak mau bertemu denganku. Saat inilah, benang penghalang itu engkau
singkirkan. Aku masih saja terdiam, saat engkau mulai bercerita lagi tentang
berbedanya tanah dan awan dalam kenyataannya. Awan yang berada di angkasa dan
tanah yang tetap berada di bumi. “Aku sadar kita memang tidak ditakdirkan
bersama. Tapi aku yakin, kalau kita bisa saling melengkapi. Ya kan?” engkau
bertanya padaku. Aku hanya menggangguk saja. “Aku tahu kalau aku dan dia memang
tidak bisa bertemu setiap saat. Tapi adakalanya aku sangat merindukannya.
Meskipun saat rindu itu begitu menggelora di dada, aku masih harus menahannya
lagi, sampai saat aku mejadi hujan dan bertemu dengannya” engkau melanjutkan.
“Engkau
tahu kan rasanya rindu yang menggelora?” kamu bertanya padaku sambil kepalamu
tetap melihat awan di angkasa. “Iya, aku tahu” aku mencoba menjawab dengan nada
datar. Gemuruh di dada yang tiba-tiba muncul, berusaha kutekan kembali dengan
menyadari bahwa kamu bukanlah awan milikku lagi dan aku bukanlah tanah yang
engkau rindukan saat ini. Aku sudah terlalu biasa dengan keadaanku selama ini,
hingga aku telah berhasil merahasiakan perasaanku untukmu dengan baik. Sehingga
tidak butuh waktu lama bagiku untuk kembali pada perasaan biasa lagi.
Biarlah
cerita tanah dan awan ini terulang lagi, lagi dan lagi. Asalkan tetap engkau
yang bercerita dan tetap dia yang engkau ceritakan, aku akan tetap ada di
sampingmu, mendengarkan dengan baik dan meresapinya, kata demi kata. Sebab pada
siapa lagi perasaan ini akan aku ungkapkan dan kepada siapa lagi diam ini akan
kutunjukkan, kalau bukan untukmu saat mendengarkan cerita tanah dan awan.
Siapa
aku?
“Sebenarnya siapa yang membuat kita kecewa? Kita
sendiri. Kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu mengendalikan harapan.
Mau secanggih apapun orang lain memupuk pesonanya, menimbun perhatiannya, kalau
kita sempurna mengendalikan hati, no problem at all.”
-(Tere Liye)-
Sebuah ungkapan atau malah kisah ya? Intinya kenangan tentang seseorang saat kita bertemu kembali dengannya, tidak akan pernah sama seperti pertama kali saat bertemu.
ReplyDelete