0 Viewers

Friday 2 August 2019

Selangkah lagi

EPISODE TUJUH
Siapa ya?

            Hari ini terjadi keajaiban. Engkau menyapaku dengan hangat diiringi bonus senyuman manis. Aku yang sedang berusaha menghindar berpapasan denganmu, mau tak mau akhirnya menoleh juga. Sepertinya lapangan bola ini tidak cukup luas untuk menyembunyikan kerdilnya tubuh ini, agar tak terlihat olehmu. “Mau kemana?” kamu menyapaku tiba-tiba. Aku yang masih belum percaya dengan keadaan ini, semakin terlihat canggung. Berdiri diantara sekian banyak orang tetapi hanya aku yang terdiam mematung sambil memandangmu. “Siapa ya?” Pertanyaan konyol yang tiba-tiba keluar dari mulutku tanpa tersadar. “Aneh, nggak suka aku” ucapmu sambil menepuk bahuku. “Ayukk, ikut aku, aku mau mengajakmu bercerita tentang tanah dan awan lagi” ujarmu sambil langsung menarik tanganku. Menjauh dari kerumunan orang di lapangan bola yang luas ini.
            Aku yang masih belum terbiasa dengan keadaan ini, terus menanyakan teori kenyataan dan khayalan yang mungkin saja sedang terjadi saat ini. Ini nyata ataukah khayalan? “Biar saja ah”. Aku sudah lelah terus berusaha menghindar darimu. Bertemu sekali saja, cukuplah untuk bisa tahu bagaimana kabarmu sekarang.
            Sudut Selatan lapangan bola ini, begitu teduh. Pohon Jati yang tumbuh diluar lapangan, banyak membantu teduhnya sudut ini dengan dahannya yang kokoh. Daunnya yang masih hijau segar ikut menambah suasana menjadi nyaman untuk dipakai duduk. Penjual kacang rebus yang sedang menjajakan dagangannya tiga meter dari tempat kami duduk, membuat kita saling melemparkan senyum simpul. “Kesukaanku” katamu tiba-tiba sambil menggerakkan kepala kearah penjual kacang rebus itu. Aku hanya tersenyum saja menanggapi celotehmu.
            Tanah dan awan. Seperti sebuah judul cerita legenda kuno tentang kehidupan jaman raja dan ratu dalam dunia wayang. Aku sempat bertanya, kenapa engkau selalu menggunakan kiasan tanah dan awan dalam setiap kesempatan ingin bercerita. “Ahhh…bukannya tanah dan awan memang asyik untuk dibahas?” jawabmu saat itu.
            Sama seperti saat ini. Engkau langsung bercerita penuh semangat. Tentang hari-harimu selama ini. Tentang pekerjaanmu. Tentang kawan-kawanmu yang begitu banyak watak dan tingkah laku. Tentang dia yang sekarang masih saja engkau rindukan. “Seandainya aku menjadi awan, pasti dia adalah tanahku” ujarmu. “Dia akan sanggup menunggu, kapan aku turun menjamah tanah dalam bentuk air hujan dan bagaimana bahagianya aku dan dia jika itu terjadi” engkau mengatakannya sambil pandanganmu mengarah keatas, melihat awan. Aku hanya terdiam. Bingung harus menjawab apa. Sebab saat seperti inilah, dirimu bisa melupakan jarak pemisah yang tak mau bertemu denganku. Saat inilah, benang penghalang itu engkau singkirkan. Aku masih saja terdiam, saat engkau mulai bercerita lagi tentang berbedanya tanah dan awan dalam kenyataannya. Awan yang berada di angkasa dan tanah yang tetap berada di bumi. “Aku sadar kita memang tidak ditakdirkan bersama. Tapi aku yakin, kalau kita bisa saling melengkapi. Ya kan?” engkau bertanya padaku. Aku hanya menggangguk saja. “Aku tahu kalau aku dan dia memang tidak bisa bertemu setiap saat. Tapi adakalanya aku sangat merindukannya. Meskipun saat rindu itu begitu menggelora di dada, aku masih harus menahannya lagi, sampai saat aku mejadi hujan dan bertemu dengannya” engkau melanjutkan.
            “Engkau tahu kan rasanya rindu yang menggelora?” kamu bertanya padaku sambil kepalamu tetap melihat awan di angkasa. “Iya, aku tahu” aku mencoba menjawab dengan nada datar. Gemuruh di dada yang tiba-tiba muncul, berusaha kutekan kembali dengan menyadari bahwa kamu bukanlah awan milikku lagi dan aku bukanlah tanah yang engkau rindukan saat ini. Aku sudah terlalu biasa dengan keadaanku selama ini, hingga aku telah berhasil merahasiakan perasaanku untukmu dengan baik. Sehingga tidak butuh waktu lama bagiku untuk kembali pada perasaan biasa lagi.
            Biarlah cerita tanah dan awan ini terulang lagi, lagi dan lagi. Asalkan tetap engkau yang bercerita dan tetap dia yang engkau ceritakan, aku akan tetap ada di sampingmu, mendengarkan dengan baik dan meresapinya, kata demi kata. Sebab pada siapa lagi perasaan ini akan aku ungkapkan dan kepada siapa lagi diam ini akan kutunjukkan, kalau bukan untukmu saat mendengarkan cerita tanah dan awan.
            Siapa aku?

“Sebenarnya siapa yang membuat kita kecewa? Kita sendiri. Kita tidak akan pernah kecewa jika kita selalu mengendalikan harapan. Mau secanggih apapun orang lain memupuk pesonanya, menimbun perhatiannya, kalau kita sempurna mengendalikan hati, no problem at all.”
-(Tere Liye)-

1 comment:

  1. Sebuah ungkapan atau malah kisah ya? Intinya kenangan tentang seseorang saat kita bertemu kembali dengannya, tidak akan pernah sama seperti pertama kali saat bertemu.

    ReplyDelete