GEMA
LIMA
Keputusan
Aku pernah dihadapkan pada sebuah
keputusan sulit dalam hubungan kita. Keputusan yang membuatku harus merasakan
rasa sakit yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Jika aku boleh bertanya,
apakah engkau juga Sayang? Bukan bermaksud untuk menggali informasi
lebih dalam tentang perasaanmu dalam hubungan kita, tetapi hanya ingin
mengobati rasa penasaran yang muncul
saat kenangan ini terulang kembali. Merasa sendiri, diacuhkan, tak berguna dan
merana dalam sepi, seperti itulah perasaanku dulu saat menghadapi keputusan
hubungan kita. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi berpikir, bagaimana aku
harus bersikap dan berkata. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri.
Aku hanya terduduk lesu di atas kursi penyesalan. Malas untuk bergerak. Seakan
terhisap dalam mimpi tak berujung.
Perasaan ini muncul kembali. Hari
ini 19 September 2019, sebuah pukulan telak menghantam batas kesadaranku. Telak
dan sakit. Rasa sepi, sendiri, diacuhkan, tak berguna dan merana dalam sepi,
seketika dihadirkan dalam bentuk Oksigen segar yang harus segera kuhirup
dalam-dalam, sebelum aku tersiksa dalam racun udara di sekitarku. Ternyata rasa
sakit itu bisa muncul kembali. Kata siapa kita hanya bisa merasakan rasa sakit
sekali saja, jika kita sudah pernah mengalaminya? Hhhh… Siapa yang
mengatakannya? Ingin rasanya aku menyumpal rasa sadarnya dengan segumpal
kekesalanku.
Toh aku sekarang merasakannya
sebanyak dua kali. Dua kali kawan. Dengan rasa sakit yang sama. Membuatku muak
dan ingin berteriak. Sebab rasa sakit yang kedua kali ini lebih lama dari yang
pertama. Sial. Aku menerimanya lagi. Seandainya aku bisa meminta yang lebih
mudah, aku pasti meminta untuk mengurangi kadarnya, sedikit saja. Agar aku bisa
menambahkan sedikit rasa senang di dalamnya. Bukan aku bermaksud untuk tidak
mengakui keberadaanku sebagai mahluk tak berdaya di atas bumi ini, bukan… tapi
wajar jika aku juga memintanya. Sedikit rasa senang di dalam suguhan rasa sakit
yang ada, seperti sebuah tamparan keras yang bisa menyadarkanku, bahwa rasa sakit
dan rasa senang sebenarnya sama. Agar aku juga sadar untuk jangan terlalu
bahagia saat rasa sakit itu sudah pergi dan supaya aku terbiasa hidup dengan
rasa sakit ini.
Ini belum seberapa kawan. Masih
banyak mahluk lain di sekitarku yang mungkin merasakan rasa sakit lebih dari
apa yang kualami. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk jangan terlalu serius di
dalam menghadapi rasa sakit ini. “Dibawa santai saja”, tagline sebuah
produk makanan yang kubaca di halaman depan koran hari ini. Aku hanya bisa
tersenyum. Ternyata koran pun juga bisa menghiburku. Lalu apa masalahnya,
hingga aku begitu menghayati rasa sakit ini sampai ke akar-akarnya?
Kenangannya? Iya, kenangan tentangmu Sayang. Kenangan yang menyertai
rasa sakit ini.
Rasa sakit dan rasa senang itu sebenarnya
sama. Semuanya adalah rasa. Satu rasa. Tak beraroma. Tak berasa. Bahkan tak
berwujud. Lalu kenapa bisa terasa berbeda, saat salah satu rasa itu kita
terima? Mungkin jawabannya cuma satu. Karena kenangan kita saat rasa itu
datang. Kenangan yang mengingatkan kita, kapan dan dimana saat rasa itu datang
untuk pertama kalinya. Ahh… sepertinya cukup aku bercerita tentang rasa sakit
dan rasa senang. Jangan terlalu panjang dan lebar. Sebab aku hanya ingin
mengingatkan diriku sekali lagi, bukankah sekarang aku sedang merasakan rasa
sakit?
Masih sakit? Tentu saja. Lalu
mengapa aku harus membaginya? Maka ijinkan aku merasakannya sejenak… Merasakan
rasa sakit ini sambil bersandar di dinding kenyataan, bahwa engkau memang bukan
milikku lagi, Sayang.
"Melukiskanmu
saat senja. Memanggil namamu ke ujung dunia. Tiada yang lebih pilu. Tiada yang
menjawabku. Selain hatiku dan ombak berderu”
-(Dewi
Lestari)-