EPISODE
SEPULUH
Berlari
Kenangan
tentangmu, seakan tak mau berhenti menggangguku. Malam ini sudah malam ke 490,
aku masih bermimpi tentangmu. Mimpi yang sama. Mimpi tentang kebersamaan kita.
Saat kita masih mampu berlari bersama dan menghindar bersama. Berlari mengejar
cita-cita kita dan menghindar dari segala rintangan hidup ini. Harapan dan doa
yang pernah kita panjatkan, juga kumimpikan di setiap malam-malamku. Padahal
sejak malam pertama kita memutuskan sudah tidak ada lagi cerita diantara kita,
aku tidak pernah memulai tidurku dengan berdoa tentangmu. Aku sudah lupa caraku
berdoa untuk memulai tidurku dan aku juga tidak mempedulikannya. Aku sudah lupa
bagaimana caraku melewati malam tanpamu lagi. Yang tetap kuingat dan selalu
kulakukan hingga malam ini adalah, berusaha mengacuhkan semua petunjuk yang ada
tentangmu.
Aku
capek dengan semua teka-teki tentangmu. Aku lelah harus mencari tahu setiap
jawaban dari pertanyaan teka-teki tentangmu. Aku merasa itu sudah tidak lucu
lagi, disaat semua urat nadi di tubuhku menolak menyadari kenyataan bahwa kita
sudah tidak bersama lagi, tapi denyutnya masih seirama denganmu.
Aku
pernah protes pada konspirasi kehidupan ini, yang masih memihak padamu. Aku
protes. Jangan paksa aku untuk menyampaikan protesku dengan kekerasan. Apa
untungnya konspirasi hidup ini jika semuanya selalu tentang dirimu?
Bermanfaatkah konspirasi ini bagi pohon, tanah dan rumput di sekitarku? Tidak!
Aku beteriak keras dalam hati. Aku memohon, hentikanlah konspirasi hidup ini
untuk selalu mengingatmu.
Aku
juga butuh hidup. Aku juga butuh dipahami. Tapi jangan kasihani aku. Karena aku
bukanlah sosok yang cacat hati dan harapannya. Aku masih normal. Aku masih
hidup. Sekali lagi, aku masih hidup!
Aku
pernah bertemu dengan pohon, berbicara dengan tanah dan mendengar rumput. Aku
menyapa mereka setiap malam sebelum tidurku. Aku jadi tahu, bagaimana
konspirasi hidup ini yang sebenarnya.
Ternyata unsurmu sudah terlalu
banyak tertanam di dalam tanah. Terhisap setiap mahluk hidup yang tumbuh di atasnya.
Unsurmu juga telah meracuni udara di sekitarnya, sehingga terpaksa seluruh
mahluk hidup akan menghirupnya. Siapa yang salah?
Aku ingin menyalahkan dirimu yang
terlalu mencampuri seluruh kehidupan ini. Atau aku malah ingin menyalahkan
hidup ini, yang terlalu bergantung kepadamu. Sialnya hanya aku sendiri yang
sekarang tidak bergantung padamu. Aku harus mencari cara sendiri untuk dapat
hidup.
Sepertinya engkau memang seharusnya
tidak kulupakan, agar aku bisa merasa damai dalam mimpiku? Atau agar di malam
ke 491-ku, aku bisa tertidur nyenyak? Tanpa mimpi. Tanpa perlu terbangun di
sepertiga malam dengan ketakutan. Tanpa rasa khawatir bahwa aku adalah musuh
satu-satunya yang dibenci oleh seluruh konspirasi hidup ini? Seakan hanya aku
mahluk yang tidak ingin mengingatmu? Entah.
Rupanya aku yang kalah. Malam ke 491-ku
ternyata masih juga bermimpi tentangmu. Bahkan lebih parah. Aku terbangun di
sepertiga malam dengan tangis dan tangan menengadah keatas, mulutku berdoa
kepada Sang Maha Mengabulkan Doa, bahwa aku ternyata masih ingin mengingatmu
dan menolak melupakanmu, Sayang.
Sialnya kenapa aku baru menyadarinya
di malam ke 491? Kenapa tidak di malam ke 1? Agar aku bisa segara menyatu
dengan konspirasi hidup ini, yang menolak melupakanmu.
“Ketika cinta terjaga segeralah ikuti jalannya.
Ikutilah sekalipun jalan itu sulit dan curam. Dan ketika sayap-sayapnya
mengepak berteriaklah kepadanya. Sekalipun pedang yang terselip di antara
sayapnya akan melukaimu. Dan ketika dia berbicara kepadamu percayalah padanya.
Meskipun suaranya mungkin meleburkan impianmu saat angin utara mulai menyapu
taman itu.”
-(Kahlil Gibran)-
No comments:
Post a Comment