0 Viewers

Monday 5 August 2019

Akhir

EPISODE SEPULUH
Berlari
           
            Kenangan tentangmu, seakan tak mau berhenti menggangguku. Malam ini sudah malam ke 490, aku masih bermimpi tentangmu. Mimpi yang sama. Mimpi tentang kebersamaan kita. Saat kita masih mampu berlari bersama dan menghindar bersama. Berlari mengejar cita-cita kita dan menghindar dari segala rintangan hidup ini. Harapan dan doa yang pernah kita panjatkan, juga kumimpikan di setiap malam-malamku. Padahal sejak malam pertama kita memutuskan sudah tidak ada lagi cerita diantara kita, aku tidak pernah memulai tidurku dengan berdoa tentangmu. Aku sudah lupa caraku berdoa untuk memulai tidurku dan aku juga tidak mempedulikannya. Aku sudah lupa bagaimana caraku melewati malam tanpamu lagi. Yang tetap kuingat dan selalu kulakukan hingga malam ini adalah, berusaha mengacuhkan semua petunjuk yang ada tentangmu.
            Aku capek dengan semua teka-teki tentangmu. Aku lelah harus mencari tahu setiap jawaban dari pertanyaan teka-teki tentangmu. Aku merasa itu sudah tidak lucu lagi, disaat semua urat nadi di tubuhku menolak menyadari kenyataan bahwa kita sudah tidak bersama lagi, tapi denyutnya masih seirama denganmu.
            Aku pernah protes pada konspirasi kehidupan ini, yang masih memihak padamu. Aku protes. Jangan paksa aku untuk menyampaikan protesku dengan kekerasan. Apa untungnya konspirasi hidup ini jika semuanya selalu tentang dirimu? Bermanfaatkah konspirasi ini bagi pohon, tanah dan rumput di sekitarku? Tidak! Aku beteriak keras dalam hati. Aku memohon, hentikanlah konspirasi hidup ini untuk selalu mengingatmu.
            Aku juga butuh hidup. Aku juga butuh dipahami. Tapi jangan kasihani aku. Karena aku bukanlah sosok yang cacat hati dan harapannya. Aku masih normal. Aku masih hidup. Sekali lagi, aku masih hidup!
            Aku pernah bertemu dengan pohon, berbicara dengan tanah dan mendengar rumput. Aku menyapa mereka setiap malam sebelum tidurku. Aku jadi tahu, bagaimana konspirasi hidup ini yang sebenarnya.
Ternyata unsurmu sudah terlalu banyak tertanam di dalam tanah. Terhisap setiap mahluk hidup yang tumbuh di atasnya. Unsurmu juga telah meracuni udara di sekitarnya, sehingga terpaksa seluruh mahluk hidup akan menghirupnya. Siapa yang salah?
Aku ingin menyalahkan dirimu yang terlalu mencampuri seluruh kehidupan ini. Atau aku malah ingin menyalahkan hidup ini, yang terlalu bergantung kepadamu. Sialnya hanya aku sendiri yang sekarang tidak bergantung padamu. Aku harus mencari cara sendiri untuk dapat hidup.
Sepertinya engkau memang seharusnya tidak kulupakan, agar aku bisa merasa damai dalam mimpiku? Atau agar di malam ke 491-ku, aku bisa tertidur nyenyak? Tanpa mimpi. Tanpa perlu terbangun di sepertiga malam dengan ketakutan. Tanpa rasa khawatir bahwa aku adalah musuh satu-satunya yang dibenci oleh seluruh konspirasi hidup ini? Seakan hanya aku mahluk yang tidak ingin mengingatmu? Entah.
Rupanya aku yang kalah. Malam ke 491-ku ternyata masih juga bermimpi tentangmu. Bahkan lebih parah. Aku terbangun di sepertiga malam dengan tangis dan tangan menengadah keatas, mulutku berdoa kepada Sang Maha Mengabulkan Doa, bahwa aku ternyata masih ingin mengingatmu dan menolak melupakanmu, Sayang.
Sialnya kenapa aku baru menyadarinya di malam ke 491? Kenapa tidak di malam ke 1? Agar aku bisa segara menyatu dengan konspirasi hidup ini, yang menolak melupakanmu.

“Ketika cinta terjaga segeralah ikuti jalannya. Ikutilah sekalipun jalan itu sulit dan curam. Dan ketika sayap-sayapnya mengepak berteriaklah kepadanya. Sekalipun pedang yang terselip di antara sayapnya akan melukaimu. Dan ketika dia berbicara kepadamu percayalah padanya. Meskipun suaranya mungkin meleburkan impianmu saat angin utara mulai menyapu taman itu.”
-(Kahlil Gibran)-

No comments:

Post a Comment