GEMA EMPAT
Dimana aku?
Mestinya
aku tadi tidak mencoba untuk memulai percakapan denganmu. Tolol sekali diri
ini. Sudah jelas bahwa engkau tidak mau mempedulikanku lagi, tapi aku malah
berharap. Sesaat tadi memang sempat terpikir, bahwa mungkin saja kamu sudah
tidak memikirkan dia lagi. Itu hanya alsanku satu-satunya kenapa aku berani
memulai untuk mengajakmu bicara. Tapi jika aku tahu hasilnya akan tetap saja
seperti sedia kala, mestinya aku berlari menghindar saja darimu.
Seharusnya
aku segera membayar pesananku segera, begitu aku melihat dirimu masuk ke rumah
makan ini. Kalau kutahu dengan mengajakmu bicara, semakin menambah luka di hati
ini menganga lagi, maka betapa bodohnya
aku. Mau memulai pembicaraan yang membuatku semakin terpuruk.
Sosok
dirinya begitu membuatmu terpesona. Rupanya hampir tidak ada waktu terbuang
tanpa dirimu memikirkan dirinya. Aku yang mendengar, betapa engkau benar-benar
merasa nyaman dengan dirinya, cukup membuatku tersadar, bahwa sejak setahun
yang lalu, itulah awal aku mundur dari kewajibanku menemanimu. Aku sudah tidak
memiliki kewajiban lagi untuk selalu memperhatikan langkahmu, mengawasi pilihan
hatimu dan mengomentari setiap celoteh hidupmu. Aku bukan lagi laki-laki yang
memiliki kewajiban untuk itu semua. “Kewajibanmu hanya mencukupi kebutuhan
hidupku saja, bukan nafkah lainnya yang ada di pikiranmu”. Perkataanmu yang
jelas dan tak terbantahkan lagi, telah membuatku tersadar. Bahwa inilah akhir
dari segala kenangan tentang kita. Aku paham Sayang. Jadi tolong jangan engkau ingatkan aku setiap saat. Cukup
sekali saja. Aku pasti paham. Aku tidak sebodoh itu Sayang untuk memahaminya.
Aku masih ingat saat aku mengajakmu
berkendara terakhir kalinya. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Hampir
tidak ada kata yang terucap. Kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Kita
berhenti di depan taman kenangan kita dahulu. Taman yang menjadi saksi saat aku
mengucapkan sayang pertama kali padamu.
Kita berdua berbicara, bercanda dan
tertawa begitu santai. Masih duduk di dalam mobil, dengan kaca jendela terbuka
ditemani alunan album The Best of Dewa19. Lagu Cinta ‘kan membawamu kembali,
menjadi background saat aku menanyakan maukah dirimu menjadi gadis yang
kusayang di hari-hari ku selanjutnya?
Entah karena lagu Dewa19 ataukah
dirimu bingung menjawab pertanyaanku, engkau hanya mengatakan “Iya, boleh”.
Sesederhana itu. Tapi tentu saja aku senang sekali. Engkau bukan kupilih karena
keterpaksaan, tapi karena aku memang sayang kamu. Indahnya taman di depan kita,
tidak lagi kuperhatikan. Anak-anak yang berlarian di sekitar air mancur begitu
senang sekali. Teriakan khas anak-anak. Begitu ramai. Hamparan rumput di
sekitar air mancur, terlihat begitu nyaman. Banyak yang duduk di atas rumput,
tiduran bahkan membuka bekal makanan yang telah dibawa dari rumah. Rindangnya
pohon akasia di sekitar taman, semakin menambah suasana taman menjadi arena
hiburan yang tepat bagi keluarga.
Tapi saat ini, semua itu sudah tidak
berarti lagi. Engkau masih saja diam dan tenggelam dalam pikiranmu. Aku belum
berani untuk membuka percakapan diantara kita. “Aku tidak mau mengingat lagi
semua ini. Tolong jangan engkau ingatkan lagi aku tentang semua kenangan kita.
Aku ingin bebas”, engkau tiba-tiba membuka percakapan. Aku yang terkejut, hanya
bisa menjawab “Baik, kalau memang itu keinginanmu”.
Baik Sayang, ini terakhir kalinya aku akan menempatkan dirimu di hatiku.
Aku sudah siap untuk menutup sisa hatiku untukmu. Cukup bagiku semua kenangan
tentangmu hingga hari ini. Semoga engkau mendapatkan apa yang engkau inginkan.
Mobil berjalan dengan perlahan dan
pasti, mengantarkan dirimu ke rumah. Biar saja aku yang pergi, karena aku tidak
pantas untuk berada di dekatmu lagi.
Setelah aku pergi meninggalkan
rumahmu, tidak ada lagi yang kuingat. Hanya suara samar-samar yang kudengar, mengatakan
bahwa aku membutuhkan penanganan segera karena aku tidak sadarkan diri di dalam
mobil. Aku mencoba menggerakkan semua anggota tubuhku. Tapi tidak mampu.
Dimanakah aku?
“Aku hanya berharap dapat tidur dan tak pernah
terbangun karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat menggantikan apa
yang telah kamu ambil dariku...”
-(Sandy
Cheney)-