0 Viewers

Sunday 18 August 2019

Keyakinan

GEMA EMPAT
Dimana aku?
           
            Mestinya aku tadi tidak mencoba untuk memulai percakapan denganmu. Tolol sekali diri ini. Sudah jelas bahwa engkau tidak mau mempedulikanku lagi, tapi aku malah berharap. Sesaat tadi memang sempat terpikir, bahwa mungkin saja kamu sudah tidak memikirkan dia lagi. Itu hanya alsanku satu-satunya kenapa aku berani memulai untuk mengajakmu bicara. Tapi jika aku tahu hasilnya akan tetap saja seperti sedia kala, mestinya aku berlari menghindar saja darimu.
            Seharusnya aku segera membayar pesananku segera, begitu aku melihat dirimu masuk ke rumah makan ini. Kalau kutahu dengan mengajakmu bicara, semakin menambah luka di hati ini menganga lagi, maka  betapa bodohnya aku. Mau memulai pembicaraan yang membuatku semakin terpuruk.
            Sosok dirinya begitu membuatmu terpesona. Rupanya hampir tidak ada waktu terbuang tanpa dirimu memikirkan dirinya. Aku yang mendengar, betapa engkau benar-benar merasa nyaman dengan dirinya, cukup membuatku tersadar, bahwa sejak setahun yang lalu, itulah awal aku mundur dari kewajibanku menemanimu. Aku sudah tidak memiliki kewajiban lagi untuk selalu memperhatikan langkahmu, mengawasi pilihan hatimu dan mengomentari setiap celoteh hidupmu. Aku bukan lagi laki-laki yang memiliki kewajiban untuk itu semua. “Kewajibanmu hanya mencukupi kebutuhan hidupku saja, bukan nafkah lainnya yang ada di pikiranmu”. Perkataanmu yang jelas dan tak terbantahkan lagi, telah membuatku tersadar. Bahwa inilah akhir dari segala kenangan tentang kita. Aku paham Sayang. Jadi tolong jangan engkau ingatkan aku setiap saat. Cukup sekali saja. Aku pasti paham. Aku tidak sebodoh itu Sayang untuk memahaminya.
Aku masih ingat saat aku mengajakmu berkendara terakhir kalinya. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Hampir tidak ada kata yang terucap. Kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Kita berhenti di depan taman kenangan kita dahulu. Taman yang menjadi saksi saat aku mengucapkan sayang pertama kali padamu.
Kita berdua berbicara, bercanda dan tertawa begitu santai. Masih duduk di dalam mobil, dengan kaca jendela terbuka ditemani alunan album The Best of Dewa19. Lagu Cinta ‘kan membawamu kembali, menjadi background saat aku menanyakan maukah dirimu menjadi gadis yang kusayang di hari-hari ku selanjutnya?
Entah karena lagu Dewa19 ataukah dirimu bingung menjawab pertanyaanku, engkau hanya mengatakan “Iya, boleh”. Sesederhana itu. Tapi tentu saja aku senang sekali. Engkau bukan kupilih karena keterpaksaan, tapi karena aku memang sayang kamu. Indahnya taman di depan kita, tidak lagi kuperhatikan. Anak-anak yang berlarian di sekitar air mancur begitu senang sekali. Teriakan khas anak-anak. Begitu ramai. Hamparan rumput di sekitar air mancur, terlihat begitu nyaman. Banyak yang duduk di atas rumput, tiduran bahkan membuka bekal makanan yang telah dibawa dari rumah. Rindangnya pohon akasia di sekitar taman, semakin menambah suasana taman menjadi arena hiburan yang tepat bagi keluarga.
Tapi saat ini, semua itu sudah tidak berarti lagi. Engkau masih saja diam dan tenggelam dalam pikiranmu. Aku belum berani untuk membuka percakapan diantara kita. “Aku tidak mau mengingat lagi semua ini. Tolong jangan engkau ingatkan lagi aku tentang semua kenangan kita. Aku ingin bebas”, engkau tiba-tiba membuka percakapan. Aku yang terkejut, hanya bisa menjawab “Baik, kalau memang itu keinginanmu”.
Baik Sayang, ini terakhir kalinya aku akan menempatkan dirimu di hatiku. Aku sudah siap untuk menutup sisa hatiku untukmu. Cukup bagiku semua kenangan tentangmu hingga hari ini. Semoga engkau mendapatkan apa yang engkau inginkan.
Mobil berjalan dengan perlahan dan pasti, mengantarkan dirimu ke rumah. Biar saja aku yang pergi, karena aku tidak pantas untuk berada di dekatmu lagi.
Setelah aku pergi meninggalkan rumahmu, tidak ada lagi yang kuingat. Hanya suara samar-samar yang kudengar, mengatakan bahwa aku membutuhkan penanganan segera karena aku tidak sadarkan diri di dalam mobil. Aku mencoba menggerakkan semua anggota tubuhku. Tapi tidak mampu. Dimanakah aku?
           
Aku hanya berharap dapat tidur dan tak pernah terbangun karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat menggantikan apa yang telah kamu ambil dariku...”
-(Sandy Cheney)-

Tuesday 13 August 2019

Sendiri

GEMA TIGA
Pahit
           
            Angin malam yang tenang dan dingin berhembus menerpaku. Rambut kepala yang sudah mulai panjang dan tidak tertutup topi, bergerak menyentuh leherku. Hmm…geli sekaligus dingin. Sepertinya aku perlu mencukur rambutku yang sudah mulai panjang. Aku menengadah dan memperhatikan keadaan langit apakah mendung atau cerah. Duduk sendiri di tengah malam pukul 03.05, di salah satu bundaran taman kota, membuatku merenung. Kilasan kenangan kejadian, bayanganmu dan semua tentang kita, seakan diputar kembali di dalam otak kecilku.
Aku masih belum dapat melupakan kata-kata terakhirmu kepadaku tadi malam sebelum aku memutuskan pergi. “Jangan engkau ganggu privasiku, aku tidak suka. Bukankah antara kita sudah tidak ada hubungan lagi?” engkau berkata setengah berteriak sambil berjalan menjauh dan menutup pintu kamar tidur. Terdengar suara kunci pintu menutup lubang kunci. Sesaat kemudian hening. Aku menanggapinya dengan dingin saja. Tidak kusangka, engkau akan mengatakan itu. Bahkan aku pun sudah lama tidak mengganggu privasimu. Tapi entah alasan apa, yang menyebabkan dirimu mengatakan itu kepadaku. Aku sudah lelah untuk memikirkannya.
Aku segera mengambil kunci mobil, mempersiapkan segala keperluanku untuk pergi malam ini. Sebagian kebutuhan mandi, pakaian dan pelengkapnya segera kukemasi kedalam tas kecil. Aku tidak marah. Aku tidak kalut. Aku tidak bingung. Aku sadar. Bahkan penuh kesadaran, saat aku memutuskan untuk pergi meninggalkanmu malam ini. Bukan karena aku tidak suka dengan perlakuanmu padaku. Bukan. Aku pergi karena aku menghormatimu lebih di atas segala-galanya. Aku tidak ingin dirimu semakin terbebani dengan kehadiran fisikku yang penuh cacat dan hina ini. Aku tidak ingin dirimu terusik dengan ingatan dan kenangan tentang diriku yang selalu mengganggumu dengan ocehan dan kenangan tak bermakna dariku. Biarlah aku yang pergi. Bukan untuk menunjukkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bukan untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Semuanya hanya karena aku menghormati dirimu lebih di atas segala-galanya. Itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.
Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup lama bagiku untuk menyadari bahwa aku adalah beban yang mengganggu hidup dan waktumu. Sekarang saatnya engkau melangkah dan memulai hidupmu yang baru. Jangan ragu. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamanya. Sudah cukup banyak kenangan yang sudah kukumpulkan denganmu selama dua puluh tahun ini. Biarlah kenangan ini yang akan menemaniku di setiap langkahku ke depan. Mulai sekarang aku sudah meyakinkan diriku sendiri, untuk tidak melihat kebelakang lagi. Keberhasilanmu jauh lebih bermakna bagiku daripada keberhasilanku sendiri. Maafkan aku Sayang jika aku tidak bisa melihat kebahagiaanmu yang berikutnya. Engkau pasti tahu, bahwa sebetulnya aku sangat ingin menyaksikannya. Tapi engkau juga tahu, kalau itu tidak mungkin.
Masih di sudut taman ini, semua kenangan diputar lagi di dalam otak kecilku. Semakin banyak kenangan yang diputar, maka semakin banyak pula penyesalanku yang tidak dapat memperbaiki setiap kesalahanku di masa lalu. Ahh...bukannya memang waktu tidak dapat diputar kembali. Lantas mengapa aku menyesalinya. Bukankah seharusnya aku mensyukurinya. Bersyukur, karena aku dapat belajar dari kesalahanku dulu dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
Angin malam masih saja dingin. Aku masih saja sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.05. satu jam telah berlalu. Tapi aku masih menikmati kesendirianku. Entah kenapa. Aku juga berusaha meyakinkan diriku untuk mampu kembali melihat dirimu di malam-malam berikutnya. Walaupun permintaan hati ini mengatakan tidak.
Aku sudah berjanji untuk tidak akan menyesali kepergianku. Aku sudah melangkahkan kakiku. Aku enggan untuk kembali. Entah kapan aku akan memutuskan untuk berhenti menjauh darimu. Berhenti dari keinginan untuk menciptakan kenangan baru denganmu. Aku belum bisa memutuskan. Biarkan saja seperti ini dulu Sayang.
           
Aku pernah mencintai seseorang sampai gila. Apa yang disebut gila, bagiku hanyalah satu-satunya cara untuk menunjukkan cinta.”
-(F. Sagan)-

Asing

GEMA DUA
Keraguan
           
            Sisi jembatan kesadaran ini membuatku sedikit takut. Berdiri di atas seutas kawat pengikat tiang samping, begitu membutuhkan kewaspadaan. Aku sedikit terhuyung tertiup angin di sekitar jembatan kesadaran ini. Jarak jembatan kesadaran ke dasar sungai di bawahnya begitu jauh. 40 meter bukan sesuatu yang bisa dianggap bercanda. Sedikit  lengah saja, bisa membuatku terjatuh ke sungai di bawah dengan keadaan tak berdaya.
            Bukan tanpa alasan aku memilih melewati sisi jembatan kesadaran ini untuk menyeberang ke dataran di sampingnya. Pilihan ini terpaksa kuambil, karena dataran tempatku tadi berpijak sudah mulai longsor terkena gempa bumi yang datang dengan tiba-tiba. Tanah yang semula terlihat hijau dan subur dengan paduan bangunan indah di sekitarnya, kini tampak seperti selembar kertas yang habis dilipat kemudian dibuka kembali. Berkerut dan lusuh. Hampir tidak ada sisa tanah dan bangunan yang dulu tampak indah dan kokoh. Semuanya hancur tidak bersisa. Semua bangunan rata dengan tanah, tanpa sisa.
            Dataran cinta, cita dan harapanku bersamamu sejak beberapa tahun yang lalu, kini sulit untuk dikenali lagi. Semua tinggal puing-puing kenangan. Setiap sudut dataran cinta ini sudah berubah semua. Tak ada lagi yang dapat kukenali. Terlebih longsorannya yang sudah semakin meluas, hingga tempatku berada. Aku memilih untuk pergi menyelamatkan diri, sebelum terlambat. Pilihanku hanya dua, pindah ke dataran di seberang atau ikut tertelan longsoran.
            Pilihanku untuk menyeberang melalui jembatan ini pun, bukan karena aku takut. Tapi aku manusia normal. Masih punya keinginan untuk hidup dan memupuk cita dan harapanku lagi. Belum ada kepastian dataran di seberang tempatku berada ini akan sama seperti yang kubayangkan. Dataran itu masih asing dan belum pernah kuinjak sebelumnya. Biar saja. Sebab berpindah ke dataran ini adalah pilihan kewarasanku satu-satunya, daripada aku nanti ikut tertelan longsoran tanah tempatku berpijak. Aku tidak mau tersiksa konyol dan mengenaskan. Aku tidak mau terlihat dikasihani dan compang-camping tak berdaya, di hadapanmu nanti. Aku laki-laki. Aku kuat dan ingin hidup lama.
            Aku masih mengumpulkan kekuatan untuk melangkah selangkah lagi diatas seutas kawat jembatan kesadaran ini. Selangkah demi selangkah aku memberanikan diriku. Keseimbanganku yang goyah karena tertiup angin diatas jembatan kesadaran ini, membuatku lebih waspada saat melangkah. Sudah 30 langkah aku semakin meninggalkan jembatan kesadaran ini. Tinggal 5 langkah lagi. Cukup menguras tenaga. 19 menit melangkah dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Sepertinya sisa langkah yang tinggal sedikit ini harus kulewati dengan kewaspadaan lebih. Sebab bisa saja 79 langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari ujung jembatan kesadaran ini hingga aman sampai dataran di seberangnya, bisa sia-sia saja jika aku kurang waspada.
            Tinggal selangkah lagi saat aku melihat ke belakang dan mengetahui bahwa, ternyata ujung jembatan ini juga ikut tertelan longsoran tanah di seberangnya. Aku tertegun sejenak sambil menelan ludah.
            Ahh…samar-samar kulihat dasar sungai di bawah jembatan kesadaran itu, semakin dekat dan nyata. Ternyata aku gagal melewati jembatan kesadaran itu, yang sebetulnya hanya tinggal selangkah lagi. Ahh…aku hanya bisa berdoa saat dinginnya air di sungai ini mulai menyentuh ujung rambut kepalaku kemudian bahuku dan diikuti seluruh tubuhku. Aku jatuh hingga ke dasar sungai ini. Masih berusaha untuk bangkit dan menghirup udara segar agar aku bisa muncul ke permukaan.
            Perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil muncul di permukaan sungai, terengah-engah sambil menarik nafas dalam sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sungai ini terlalu luas dan asing untuk kuseberangi sendiri.
            Mungkin saja ini akhir dari cerita hidupku?

Cinta adalah melodi keramat yang belum pernah mampu kukuasai dan aku takut tidak akan pernah mampu menguasainya.”
-(William S. Burroughs)-

Monday 12 August 2019

Ungkapan hati

GEMA SATU
Rasa ini
           
            Aku bersyukur malam ini dirimu telah memberikan penghargaan terhadap kehadiranku lagi. 8 Agustus 2019 akan kuingat selamanya. Pertemuan yang memang tidak kita atur kapan dan dimana, akhirnya terjadi juga. Sebuah penghormatan yang telah memberiku sebuah kekuatan fisik untuk mulai bangkit memperbaiki cacat hati dan harapanku. Aku tidak akan bertanya lagi tentang ketulusan dan keikhlasan dari penghormatanmu padaku. Tidak. Aku sudah cukup berbahagia dengan penghormatan utuh ini, tanpa ada bayangan samar di belakangnya. Aku sadar, setelah sekian lama engkau acuhkan keberadaanku di duniamu, aku menjadi seperti sebuah virus yang kebal terhadap segala macam ramuan penyembuh cacat hati dan harapan. Terapung dalam ruang hampa udara di sekitar manusia dan mahluk hidup lainnya. Mati suri, menunggu kapan aku bisa bangkit suatu saat nanti.
            Malam ini aku benar-benar ingin menyentuh visual dirimu dengan nyata. Merasakan detak nadimu diantara degup jantungku. Engkau yang sangat kurindukan dalam setiap doa dan harapanku pada Sang Maha Pengabul Doa. Engkau yang menjadi alasanku, masih tetap berada dalam ruang hampa ini dan menolak untuk melebur dan hancur bersama tanah.  
Engkau masih tetap cantik dan mempesona sebagaimana ingatanku tentangmu dulu. Masih ceria dan bersemangat. Berapi-api saat bercerita. Hangat dan meneduhkan saat berada didekatmu. Begitu sempurna.
Aku terpana dan mati rasa. Penghormatanmu padaku, tidak akan dapat kubalas dengan tingkatan yang sama. Aku harus lebih diatasnya. Engkau terlalu biasa untuk dianggap biasa saja. Bahkan engkau terlalu luar biasa untuk dianggap wah. Benar-benar gadis idaman setiap mahluk hidup. Muda, mempesona dan memikat.
Kalau mahluk hidup yang lain saja sudah terpikat dengan kehadiranmu, apalagi denganku?

Segala yang terbaik dan terindah di dunia ini tak dapat dilihat atau bahkan didengar, tetapi harus dirasakan dengan hati.”
-(Helen Keller)-

Monday 5 August 2019

Akhir

EPISODE SEPULUH
Berlari
           
            Kenangan tentangmu, seakan tak mau berhenti menggangguku. Malam ini sudah malam ke 490, aku masih bermimpi tentangmu. Mimpi yang sama. Mimpi tentang kebersamaan kita. Saat kita masih mampu berlari bersama dan menghindar bersama. Berlari mengejar cita-cita kita dan menghindar dari segala rintangan hidup ini. Harapan dan doa yang pernah kita panjatkan, juga kumimpikan di setiap malam-malamku. Padahal sejak malam pertama kita memutuskan sudah tidak ada lagi cerita diantara kita, aku tidak pernah memulai tidurku dengan berdoa tentangmu. Aku sudah lupa caraku berdoa untuk memulai tidurku dan aku juga tidak mempedulikannya. Aku sudah lupa bagaimana caraku melewati malam tanpamu lagi. Yang tetap kuingat dan selalu kulakukan hingga malam ini adalah, berusaha mengacuhkan semua petunjuk yang ada tentangmu.
            Aku capek dengan semua teka-teki tentangmu. Aku lelah harus mencari tahu setiap jawaban dari pertanyaan teka-teki tentangmu. Aku merasa itu sudah tidak lucu lagi, disaat semua urat nadi di tubuhku menolak menyadari kenyataan bahwa kita sudah tidak bersama lagi, tapi denyutnya masih seirama denganmu.
            Aku pernah protes pada konspirasi kehidupan ini, yang masih memihak padamu. Aku protes. Jangan paksa aku untuk menyampaikan protesku dengan kekerasan. Apa untungnya konspirasi hidup ini jika semuanya selalu tentang dirimu? Bermanfaatkah konspirasi ini bagi pohon, tanah dan rumput di sekitarku? Tidak! Aku beteriak keras dalam hati. Aku memohon, hentikanlah konspirasi hidup ini untuk selalu mengingatmu.
            Aku juga butuh hidup. Aku juga butuh dipahami. Tapi jangan kasihani aku. Karena aku bukanlah sosok yang cacat hati dan harapannya. Aku masih normal. Aku masih hidup. Sekali lagi, aku masih hidup!
            Aku pernah bertemu dengan pohon, berbicara dengan tanah dan mendengar rumput. Aku menyapa mereka setiap malam sebelum tidurku. Aku jadi tahu, bagaimana konspirasi hidup ini yang sebenarnya.
Ternyata unsurmu sudah terlalu banyak tertanam di dalam tanah. Terhisap setiap mahluk hidup yang tumbuh di atasnya. Unsurmu juga telah meracuni udara di sekitarnya, sehingga terpaksa seluruh mahluk hidup akan menghirupnya. Siapa yang salah?
Aku ingin menyalahkan dirimu yang terlalu mencampuri seluruh kehidupan ini. Atau aku malah ingin menyalahkan hidup ini, yang terlalu bergantung kepadamu. Sialnya hanya aku sendiri yang sekarang tidak bergantung padamu. Aku harus mencari cara sendiri untuk dapat hidup.
Sepertinya engkau memang seharusnya tidak kulupakan, agar aku bisa merasa damai dalam mimpiku? Atau agar di malam ke 491-ku, aku bisa tertidur nyenyak? Tanpa mimpi. Tanpa perlu terbangun di sepertiga malam dengan ketakutan. Tanpa rasa khawatir bahwa aku adalah musuh satu-satunya yang dibenci oleh seluruh konspirasi hidup ini? Seakan hanya aku mahluk yang tidak ingin mengingatmu? Entah.
Rupanya aku yang kalah. Malam ke 491-ku ternyata masih juga bermimpi tentangmu. Bahkan lebih parah. Aku terbangun di sepertiga malam dengan tangis dan tangan menengadah keatas, mulutku berdoa kepada Sang Maha Mengabulkan Doa, bahwa aku ternyata masih ingin mengingatmu dan menolak melupakanmu, Sayang.
Sialnya kenapa aku baru menyadarinya di malam ke 491? Kenapa tidak di malam ke 1? Agar aku bisa segara menyatu dengan konspirasi hidup ini, yang menolak melupakanmu.

“Ketika cinta terjaga segeralah ikuti jalannya. Ikutilah sekalipun jalan itu sulit dan curam. Dan ketika sayap-sayapnya mengepak berteriaklah kepadanya. Sekalipun pedang yang terselip di antara sayapnya akan melukaimu. Dan ketika dia berbicara kepadamu percayalah padanya. Meskipun suaranya mungkin meleburkan impianmu saat angin utara mulai menyapu taman itu.”
-(Kahlil Gibran)-