EPISODE
EMPAT
Nasi
Goreng yang sudah tidak nikmat lagi
Di dalam sebuah pertemuan, pasti ada
perpisahan. Pada seuntai kisah kebersamaan pasti ada sedih yang menemani.
Begitu juga dengan Sandi dan Asmi.
Awal pertemuan mereka saat awal
perkuliahan dulu, tak ubahnya seperti remaja yang sedang bertemu dengan kekasih
idamannya. Pagi dicari, siang dirindu, malam pun dinanti. Setiap saat, detik,
menit dan jam yang berlalu, bagaikan denting indah nuansa di kesadaran logika
mereka berdua.
Yaaa, orang lain boleh berkata
itulah namanya cinta monyet. Tapi tidak bagi mereka. Pertemuan yang hanya
sesaat, mampu menumbuhkan ingatan membara akan mereka berdua. Dan hanya mereka
berdua yang paham. Dimana ada Sandi, pasti Asmi disisinya. Bercanda, mencubit
bahkan merajuk, seperti sebuah menu wajib yang harus mereka nikmati setiap
hari. Menu yang mengisi seluruh urat nadi remaja yang sedang kasmaran.
Ketika cinta yang mulai menjadi
sebuah ikatan keseriusan, akhirnya menggiring mereka pada sebuah keputusan.
Pernikahan.... yaaa pernikahan. Istilah yang mungkin belum pernah ada di dalam
kamus verbal masa remaja mereka.
Pernikahan yang akhirnya menjadi
kenyataan, membuat Sandi dan Asmi merasa terasing dan aneh. Berada pada sebuah
keadaan yang mengharuskan mereka untuk mulai dapat memahami dan memaklumi,
bahwa segelas air putih di pagi hari, akan terasa seperti air kelapa dan bahwa
telor goreng tanpa garam akan senikmat steak tenderloin di sebuah restoran
terkenal. Bahkan saat nasi goreng sudah tak nikmat lagi.
Yaa....pernikahan akan menciptakan
suatu batasan baru tak kasat mata, yang menjelaskan sebuah peraturan bahwa kau
adalah milikku dan akulah milikmu. Terkesan posesif. Memang... sebab itulah
arti dari pernikahan. Terlihat absurd dan terkadang tak masuk akal.
Bahwa hanya dengan batasan tak kasat mata itulah, butir-butir perselisihan
mulai timbul. Menetes setetes demi setetes pada ikatan tak kasat mata itu.
Semakin lama semakin jelas. Noda dan ceruk yang tercipta di batasan itu,
semakin terlihat jelas. Terkadang keinginan untuk menghalau butiran itu
menetes, begitu kuat. Berusaha menghapus ceruk yang telah tercipta itu dengan
tumpukan cinta dan maaf. Tetapi sayang semua sudah terlambat.
Setelah sekian lama pernikahan itu
berjalan, tak ubahnya bagaikan jalan di pematang sawah yang berliku, sempit,
becek dan terkadang tak jelas. Dua puluh tahun sudah jalan itu mereka lewati.
Terlalu banyak kisah dan kenangan yang telah mereka lalui. Akhirnya salah satu
dari mereka pun menyerah pada keadaan. Bahwa sesuatu yang teramat baik, belum tentu
bermanfaat. Dan kekurangan yang terasa seperti sembilu menyayat, belum tentu
untuk menyakiti.
Kisah cerita diantara Sandi dan Asmi
pun seperti itu. Inilah akhir dari sebuah keadaan terlengkap dalam siklus hidup
manusia. Yang terlindung oleh batasan tak kasat mata tersebut. Siklus hidup
manusia yang memaksa mereka menerima, bahwa hadirnya pelengkap batasan tak
kasat mata itu juga akan ikut terpengaruh.
Sandi tahu terlalu berat untuk
melepas Asmi. Dan Asmi pun merasa gundah saat melepas Sandi. Sebuah babak baru
telah dimulai, sebuah episode cerita baru telah ditayangkan.
Selamat tinggal, selamat berbahagia,
selamat menempuh hidup yang baru. Arti ucapan selamat yang mungkin juga belum
pernah ada di dalam kamus kehidupan pernikahan mereka berdua. Hanya kisah yang
mungkin akan tetap tertinggal. Tapi entah sampai kapan itu tersisa. Apakah
sampai angin berhembus dan meniupnya pergi bersama debu kisah cinta mereka yang
juga telah kusam dan berdaki? Ataukah akan dikumpulkan pada sebuah wadah besar
penuh warna, yang bercampur dengan glitter yang akan mereka mainkan
sendiri, disaat sepi, sedih, gelisah, suka dan tawa?
Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu jawabnya.
“Cinta adalah sebuah perasaan. Bahwa kamu tidak
dapat melepaskannya. Karena cinta itu lengket.”
-Cinta adalah perasaan (Channyr-Paigh Tummings)-
No comments:
Post a Comment