EPISODE
SATU
Sedetik
dan Sepersekian detik
Langit kembali cerah. Hujan selama 3 jam sejak pagi sudah cukup
membuatku tersadar, bahwa aku masih berada dalam kesadaran kenyataan. Bau tanah
sehabis hujan menyeruak masuk menembus indera penciumanku. Seakan menyadarkanku
dari lamunan, bahwa tepat 15 bulan yang lalu, tepatnya 10 Maret 2018 pertama
kalinya aku merasakan ruang khayal dalam jagat berpikir sadarku. Sebuah ruang
yang kini telah menjadi tempat lahirnya segala macam suka dan duka, yang
semakin mengaburkan pandanganku akan perbedaan kenyataan dan khayalan. Aku
memang pernah berpikir, jika seandainya aku pernah menemukan kenyataan dan
sanggup untuk melaluinya walaupun hanya sedetik, maka pasti diantara sedetik
kenyataan itu akan ada sepersekian detik khayal yang menemani.
Iya Sayang, sepersekian detik itu adalah
kamu. Yang selama ini telah mengisi setiap pola keteraturan hidupku, menjadi
segaris jalan kehidupan yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya.
Ya…kehadiranmu telah memicu sebuah perjalanan waktu menembus dimensi waktu imajiner
yang aku tak tahu kapan akan berakhir. Sebab perjalanan waktu ini, berbeda
dengan perjalanan waktu yang ada di televisi. Dimana saat kita memasuki dimensi
waktu yang berbeda, maka kita akan kembali lagi di kenyataan sesaat sebelum
kita berada dalam dimensi waktu tersebut. Perjalanan yang sepertinya masuk
akal, mudah dan menyenangkan.
Tapi ini berbeda. Dimensi waktu imajiner
yang kumasuki, tidak memiliki pola keteraturan sebagaimana mestinya. Dia
membuatku bingung untuk menentukan awal dan akhir perjalanan yang akan
kutempuh. Terkadang aku terlempar sedetik saja ke masa depan yang menyenangkan
dan terlempar sepersekian detik kembali ke masa lalu yang muram. Pernah juga
dimensi ini melemparkanku jauh pada waktu yang tidak bisa aku definisikan,
apakah ini masa depan atau masa lalu. Karena sepersekian detik sangatlah cepat
bagi otak kecilku untuk menerjemahkan alur perjalanan waktu yang kulewati.
Kehadiranmu telah memicu sel otakku
untuk bekerja lebih cepat. Memaksa sel syarafku untuk dapat menerjemahkan
setiap kode unik darimu. Kode wajahmu, kode tubuhmu, kode aromamu...bahkan kode
bayanganmu. Aku yang pernah belajar apa itu kode analog dan digital, hanya
dapat memahaminya, bahwa kode yang kau kirimkan adalah sebagai kode digital.
Dia hanya akan bernilai “1” atau “0”. “1” akan berati iya dan “0” akan berarti
tidak. Sesederhana itu. Walaupun sederhana, tapi jika segudang kode unik yang
kau kirimkan muncul bersamaan, maka sulit bagiku untuk menangkapnya dan harus
bagaimana menerjemahkannya. Kode digital inilah yang telah memicu munculnya
dimensi waktu imajiner dalam diriku. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya
jika dimensi waktu imajiner ini, tersusun dari kode digital unik dirimu.
Aku kini terpaksa berada di dalam
perjalanan waktu menempuh dimensi waktu imajiner ini sendiri. Iya...tidak ada
lagi dirimu yang menemaniku. Bukannya sudah kukatakan, kalau setahun lalu
semuanya ini bermula? Pada awalnya aku merasa kalut, saat menyadarinya. Tidak
mudah bagi seorang lelaki kecil sepertiku menyadari beda ruang khayal dan nyata
yang disodorkan di hadapanku, layaknya kumpulan oksigen yang harus kuhirup
dalam-dalam, daripada aku sesak karena menolaknya. Kalut.... mungkin saja, sedih…. jelas. Sedetik menempuh perjalanan waktu
ini bagaikan sedetik yang terhenti seribu tahun. Lama sekali rasanya. Seakan
lonjakan energiku dan kemampuanku menahan beban tengah dipertaruhkan. Mana yang
mampu bertahan? Apakah lonjakan energiku ataukah bebanku? Aku tidak bisa
menjawab pasti. Sebab perjalanan waktu yang kulewati adalah menembus dimensi
waktu imajiner yang berada di antara ruang khayal dan nyata.
Aku
pernah bertanya pada diriku sendiri, apa yang akan kulakukan jika aku
mendapatkan sedetik waktu bersamamu kembali, untuk bersama-sama menempuh
dimensi waktu imajiner ini? Apakah aku akan bersyukur? Menyesal? Atau aku malah
mengutuknya? Aku belum bisa menjawabnya, sebab aku membutuhkan sepersekian
detik lagi untuk melengkapi sedetik waktu bersamamu. Sepersekian detik waktu
yang mungkin dapat merubah semua pola keteraturan yang panjang dan berkelanjutan
dalam hidupku. Bukankan sedetik itu muncul dari hadirnya sepersekian detik yang
dermawan? Ataukah muncul dari keterpaksaan sepersekian detik untuk melengkapi
takdirnya menjadi sedetik? Ahh...sepertinya akan sia-sia saja jika
mempersalahkan eksistensi sedetik dan sepersekian detik di dunia ini. Karena
kemampuan otak kecilku pun tak akan sanggup memahami sang Maha Pencipta Sedetik
dan Sepersekian Detik Yang Maha Agung. Yang mampu mengetahui dan mendengar apa
saja yang manusia tidak dapat mengetahuinya.
Maaf Sayang, hanya sekedar agar engkau tahu saja, aku kini sudah berada
di dalam perjalanan waktu menembus dimensi waktu imajiner ini. Aku berusaha
menerjemahkan setiap kode unik darimu, mengolahnya dalam otak kecilku yang luar
biasa efektif. Semakin jauh aku menempuhnya, semakin kurasakan jika kesadaranku
semakin kabur. Seiring menghilangnya senyumanmu dan tatapanmu. Sedetik demi
sedetik aku mencoba bertahan menembus dimensi waktu imajiner ini, semakin
memberikan tanda yang jelas, bahwa aku semakin tidak kuasa untuk berfikir,
dimana aku berpijak, dimana aku berada dan dimana aku sekarang? Sebab dimensi
waktu imajiner ini, semakin membuatku mempertanyakan kembali...cintakah aku
padamu Sayang? Ataukah hanya karena
kuatku mencintaimu yang jadi alasan? Ahh...tolong bantu aku Sayang... Berikan saja sepersekian
detikmu untukku, agar aku dapat membawanya, menerjemahkannya dan merangkainya
dalam menjawab kode unik darimu di dalam perjalananku melewati dimensi waktu imajiner
ini.
Entah sudah ratusan detik keberapa,
kali ini aku menyadari jagat berpikir sadarku kembali….dengan lonjakan memori
dan beban yang sama? Hingga aku kembali berusaha untuk menakar kadar kenyataan
dan khayalan diantara kita... lagi…
Tak ubahnya seperti dua tetes air dan minyak yang merasa ingin
menunjukkan eksistensi keberadaan, siapa yang paling bermanfaat… Terkesan klise
dan norak..
Iya, tapi saat aku mulai
menyadarinya, aku sudah terlanjur berada di dalam rangkaian kejadian panjang
dan teratur, yang ternyata berbeda pemahaman dan tujuan diantara kita.
Entahlah...atau otak kecilku kini sudah mulai tidak berdaya dan rapuh, di dalam
menerjemahkan kode unik dirimu?
“Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan,
bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri
punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang
nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya, sebab ia sadar bahwa
seorang ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun,
dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.”
-Miguel de Cervantes Saavedra (Don Quixote)-
Setelah membaca blog ini, terlihat bahwa penulis menceritakan pengalaman pribadinya, yang dibalut dengan kiasan tokoh dan peristiwa. Rasanya mengingatkanku saat kecewa dalam sebuah jalinan, yang masih kuingat sampai detik ini..
ReplyDelete