GEMA DUA
Keraguan
Sisi
jembatan kesadaran ini membuatku sedikit takut. Berdiri di atas seutas kawat
pengikat tiang samping, begitu membutuhkan kewaspadaan. Aku sedikit terhuyung
tertiup angin di sekitar jembatan kesadaran ini. Jarak jembatan kesadaran ke
dasar sungai di bawahnya begitu jauh. 40 meter bukan sesuatu yang bisa dianggap
bercanda. Sedikit lengah saja, bisa
membuatku terjatuh ke sungai di bawah dengan keadaan tak berdaya.
Bukan
tanpa alasan aku memilih melewati sisi jembatan kesadaran ini untuk menyeberang
ke dataran di sampingnya. Pilihan ini terpaksa kuambil, karena dataran tempatku
tadi berpijak sudah mulai longsor terkena gempa bumi yang datang dengan
tiba-tiba. Tanah yang semula terlihat hijau dan subur dengan paduan bangunan
indah di sekitarnya, kini tampak seperti selembar kertas yang habis dilipat
kemudian dibuka kembali. Berkerut dan lusuh. Hampir tidak ada sisa tanah dan
bangunan yang dulu tampak indah dan kokoh. Semuanya hancur tidak bersisa. Semua
bangunan rata dengan tanah, tanpa sisa.
Dataran
cinta, cita dan harapanku bersamamu sejak beberapa tahun yang lalu, kini sulit
untuk dikenali lagi. Semua tinggal puing-puing kenangan. Setiap sudut dataran
cinta ini sudah berubah semua. Tak ada lagi yang dapat kukenali. Terlebih
longsorannya yang sudah semakin meluas, hingga tempatku berada. Aku memilih
untuk pergi menyelamatkan diri, sebelum terlambat. Pilihanku hanya dua, pindah
ke dataran di seberang atau ikut tertelan longsoran.
Pilihanku
untuk menyeberang melalui jembatan ini pun, bukan karena aku takut. Tapi aku
manusia normal. Masih punya keinginan untuk hidup dan memupuk cita dan
harapanku lagi. Belum ada kepastian dataran di seberang tempatku berada ini
akan sama seperti yang kubayangkan. Dataran itu masih asing dan belum pernah kuinjak
sebelumnya. Biar saja. Sebab berpindah ke dataran ini adalah pilihan
kewarasanku satu-satunya, daripada aku nanti ikut tertelan longsoran tanah
tempatku berpijak. Aku tidak mau tersiksa konyol dan mengenaskan. Aku tidak mau
terlihat dikasihani dan compang-camping tak berdaya, di hadapanmu nanti. Aku
laki-laki. Aku kuat dan ingin hidup lama.
Aku
masih mengumpulkan kekuatan untuk melangkah selangkah lagi diatas seutas kawat
jembatan kesadaran ini. Selangkah demi selangkah aku memberanikan diriku.
Keseimbanganku yang goyah karena tertiup angin diatas jembatan kesadaran ini,
membuatku lebih waspada saat melangkah. Sudah 30 langkah aku semakin
meninggalkan jembatan kesadaran ini. Tinggal 5 langkah lagi. Cukup menguras
tenaga. 19 menit melangkah dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Sepertinya sisa
langkah yang tinggal sedikit ini harus kulewati dengan kewaspadaan lebih. Sebab
bisa saja 79 langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari ujung jembatan
kesadaran ini hingga aman sampai dataran di seberangnya, bisa sia-sia saja jika
aku kurang waspada.
Tinggal
selangkah lagi saat aku melihat ke belakang dan mengetahui bahwa, ternyata
ujung jembatan ini juga ikut tertelan longsoran tanah di seberangnya. Aku
tertegun sejenak sambil menelan ludah.
Ahh…samar-samar
kulihat dasar sungai di bawah jembatan kesadaran itu, semakin dekat dan nyata.
Ternyata aku gagal melewati jembatan kesadaran itu, yang sebetulnya hanya
tinggal selangkah lagi. Ahh…aku hanya bisa berdoa saat dinginnya air di sungai
ini mulai menyentuh ujung rambut kepalaku kemudian bahuku dan diikuti seluruh
tubuhku. Aku jatuh hingga ke dasar sungai ini. Masih berusaha untuk bangkit dan
menghirup udara segar agar aku bisa muncul ke permukaan.
Perjuanganku
tidak sia-sia, aku berhasil muncul di permukaan sungai, terengah-engah sambil
menarik nafas dalam sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sungai ini
terlalu luas dan asing untuk kuseberangi sendiri.
Mungkin
saja ini akhir dari cerita hidupku?
“Cinta
adalah melodi keramat yang belum pernah mampu kukuasai dan aku takut tidak akan
pernah mampu menguasainya.”
-(William S. Burroughs)-
No comments:
Post a Comment