0 Viewers

Tuesday 13 August 2019

Asing

GEMA DUA
Keraguan
           
            Sisi jembatan kesadaran ini membuatku sedikit takut. Berdiri di atas seutas kawat pengikat tiang samping, begitu membutuhkan kewaspadaan. Aku sedikit terhuyung tertiup angin di sekitar jembatan kesadaran ini. Jarak jembatan kesadaran ke dasar sungai di bawahnya begitu jauh. 40 meter bukan sesuatu yang bisa dianggap bercanda. Sedikit  lengah saja, bisa membuatku terjatuh ke sungai di bawah dengan keadaan tak berdaya.
            Bukan tanpa alasan aku memilih melewati sisi jembatan kesadaran ini untuk menyeberang ke dataran di sampingnya. Pilihan ini terpaksa kuambil, karena dataran tempatku tadi berpijak sudah mulai longsor terkena gempa bumi yang datang dengan tiba-tiba. Tanah yang semula terlihat hijau dan subur dengan paduan bangunan indah di sekitarnya, kini tampak seperti selembar kertas yang habis dilipat kemudian dibuka kembali. Berkerut dan lusuh. Hampir tidak ada sisa tanah dan bangunan yang dulu tampak indah dan kokoh. Semuanya hancur tidak bersisa. Semua bangunan rata dengan tanah, tanpa sisa.
            Dataran cinta, cita dan harapanku bersamamu sejak beberapa tahun yang lalu, kini sulit untuk dikenali lagi. Semua tinggal puing-puing kenangan. Setiap sudut dataran cinta ini sudah berubah semua. Tak ada lagi yang dapat kukenali. Terlebih longsorannya yang sudah semakin meluas, hingga tempatku berada. Aku memilih untuk pergi menyelamatkan diri, sebelum terlambat. Pilihanku hanya dua, pindah ke dataran di seberang atau ikut tertelan longsoran.
            Pilihanku untuk menyeberang melalui jembatan ini pun, bukan karena aku takut. Tapi aku manusia normal. Masih punya keinginan untuk hidup dan memupuk cita dan harapanku lagi. Belum ada kepastian dataran di seberang tempatku berada ini akan sama seperti yang kubayangkan. Dataran itu masih asing dan belum pernah kuinjak sebelumnya. Biar saja. Sebab berpindah ke dataran ini adalah pilihan kewarasanku satu-satunya, daripada aku nanti ikut tertelan longsoran tanah tempatku berpijak. Aku tidak mau tersiksa konyol dan mengenaskan. Aku tidak mau terlihat dikasihani dan compang-camping tak berdaya, di hadapanmu nanti. Aku laki-laki. Aku kuat dan ingin hidup lama.
            Aku masih mengumpulkan kekuatan untuk melangkah selangkah lagi diatas seutas kawat jembatan kesadaran ini. Selangkah demi selangkah aku memberanikan diriku. Keseimbanganku yang goyah karena tertiup angin diatas jembatan kesadaran ini, membuatku lebih waspada saat melangkah. Sudah 30 langkah aku semakin meninggalkan jembatan kesadaran ini. Tinggal 5 langkah lagi. Cukup menguras tenaga. 19 menit melangkah dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Sepertinya sisa langkah yang tinggal sedikit ini harus kulewati dengan kewaspadaan lebih. Sebab bisa saja 79 langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari ujung jembatan kesadaran ini hingga aman sampai dataran di seberangnya, bisa sia-sia saja jika aku kurang waspada.
            Tinggal selangkah lagi saat aku melihat ke belakang dan mengetahui bahwa, ternyata ujung jembatan ini juga ikut tertelan longsoran tanah di seberangnya. Aku tertegun sejenak sambil menelan ludah.
            Ahh…samar-samar kulihat dasar sungai di bawah jembatan kesadaran itu, semakin dekat dan nyata. Ternyata aku gagal melewati jembatan kesadaran itu, yang sebetulnya hanya tinggal selangkah lagi. Ahh…aku hanya bisa berdoa saat dinginnya air di sungai ini mulai menyentuh ujung rambut kepalaku kemudian bahuku dan diikuti seluruh tubuhku. Aku jatuh hingga ke dasar sungai ini. Masih berusaha untuk bangkit dan menghirup udara segar agar aku bisa muncul ke permukaan.
            Perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil muncul di permukaan sungai, terengah-engah sambil menarik nafas dalam sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Sungai ini terlalu luas dan asing untuk kuseberangi sendiri.
            Mungkin saja ini akhir dari cerita hidupku?

Cinta adalah melodi keramat yang belum pernah mampu kukuasai dan aku takut tidak akan pernah mampu menguasainya.”
-(William S. Burroughs)-

No comments:

Post a Comment