EPISODE
DELAPAN
Sepatu
Anak
yang kulihat tadi pagi di sebelah tiang traffic
light perempatan, masih juga duduk disitu. Sudah delapan jam, sejak pagi,
kulihat dia berjualan hiasan bunga mawar merah, dari pita dan kertas, yang
ditopang dengan entah itu besi kecil, kawat atau bambu, sebagai batangnya.
Semua dihias dengan sempurna, menggunakan hiasan kertas berbagai macam,
sehingga terlihat seperti setangkai bunga mawar segar.
Aku
mendekat dan bertanya padanya berapa harga hiasan setangkai mawar itu. Lima ribu
rupiah menurutku cukup sebagai ide dan lelahnya merangkai hiasan setangkai
mawar ini. Kuserahkan uang lima ribu rupiah dan aku bergegas pergi dari situ.
Trotoar jalan yang kulewati, kembali mengingatkanku akan dirimu.
Jakarta
memang panas. Tapi saat aku mengingatmu, panas ini seakan sirna. Hilang tak
berbekas, tergantikan sejuk yang tiba-tiba menyergapku. Setangkai mawar yang
dulu pernah kuberikan padamu, kembali terlintas dalam kenanganku.
Sama
seperti hiasan setangkai mawar yang sekarang kugenggam. Engkau dulu pernah
menggenggam setangkai mawar yang kuberikan, tetapi sayang hanya sebentar saja.
Aku minta maaf Sayang, kalau
setangkai mawar yang kuberikan, telah melukai jarimu dengan durinya. Betapa
bodohnya aku yang tidak segera menyadarinya, malah berusaha mencari pembenaran
bahwa mawar memang seharusnya berduri.
Maaf
Sayang, kalau sekarang engkau masih
mengingatnya dan merasa marah tentang itu. Aku belum sempat meminta maaf
padamu, tapi engkau sudah pergi meninggalkanku.
Aku
masih ingat hari disaat engkau mengatakan ingin pergi dan melupakan semua
kenangan tentang kita. Saat itu engkau berkata, “Jangan marah, jangan diambil
hati. Ini semua sudah takdir kita.” Aku mendengar dan menerimanya dengan
perasaan bercampur aduk, anatara bingung, kalut dan takut kehilangan.
Sama
dengan detik ini, saat aku mulai melihat dengan seksama hiasan setangkai mawar
yang sedang kugenggam. Ternyata benar, dia berduri. Berarti akulah yang salah.
Akulah yang tidak mau tahu. Egois dan ingin menang sendiri. Memaksamu untuk menerima
semua cercaan dan kerancuan dariku.
Tapi
di dalam hati kecilku, aku masih berharap adakah kesempatan untukku lagi?
Bukankah setangkai mawar itu memang indah. Tetapi alangkah indahnya, jika dia
dirangkai bersama dengan setangkai mawar lainnya? Masih adakah kesempatan aku
menjadi setangkai mawar lain itu? Atau biarlah aku cukup menjadi sepatu yang
menemanimu berjalan kemana saja. Tanpa perlu kamu lihat kebawah lagi, kearah
mana dia berjalan. Cukup dengan menggenggam setangkai mawar saja sebagai temanmu.
“Cinta sejati itu abadi, tanpa batas dan selalu
menyukai dirinya. Cinta sejati itu seimbang dan murni, tanpa kekerasan. Cinta
sejati tetap terlihat bersama memutihnya rambut namun selalu muda di hati.”
-(Honore de Balzac)-
No comments:
Post a Comment