0 Viewers

Sunday 4 August 2019

Hari itu

EPISODE DELAPAN
Sepatu
           
            Anak yang kulihat tadi pagi di sebelah tiang traffic light perempatan, masih juga duduk disitu. Sudah delapan jam, sejak pagi, kulihat dia berjualan hiasan bunga mawar merah, dari pita dan kertas, yang ditopang dengan entah itu besi kecil, kawat atau bambu, sebagai batangnya. Semua dihias dengan sempurna, menggunakan hiasan kertas berbagai macam, sehingga terlihat seperti setangkai bunga mawar segar.
            Aku mendekat dan bertanya padanya berapa harga hiasan setangkai mawar itu. Lima ribu rupiah menurutku cukup sebagai ide dan lelahnya merangkai hiasan setangkai mawar ini. Kuserahkan uang lima ribu rupiah dan aku bergegas pergi dari situ. Trotoar jalan yang kulewati, kembali mengingatkanku akan dirimu.
            Jakarta memang panas. Tapi saat aku mengingatmu, panas ini seakan sirna. Hilang tak berbekas, tergantikan sejuk yang tiba-tiba menyergapku. Setangkai mawar yang dulu pernah kuberikan padamu, kembali terlintas dalam kenanganku.
            Sama seperti hiasan setangkai mawar yang sekarang kugenggam. Engkau dulu pernah menggenggam setangkai mawar yang kuberikan, tetapi sayang hanya sebentar saja. Aku minta maaf Sayang, kalau setangkai mawar yang kuberikan, telah melukai jarimu dengan durinya. Betapa bodohnya aku yang tidak segera menyadarinya, malah berusaha mencari pembenaran bahwa mawar memang seharusnya berduri.
            Maaf Sayang, kalau sekarang engkau masih mengingatnya dan merasa marah tentang itu. Aku belum sempat meminta maaf padamu, tapi engkau sudah pergi meninggalkanku.
            Aku masih ingat hari disaat engkau mengatakan ingin pergi dan melupakan semua kenangan tentang kita. Saat itu engkau berkata, “Jangan marah, jangan diambil hati. Ini semua sudah takdir kita.” Aku mendengar dan menerimanya dengan perasaan bercampur aduk, anatara bingung, kalut dan takut kehilangan.
            Sama dengan detik ini, saat aku mulai melihat dengan seksama hiasan setangkai mawar yang sedang kugenggam. Ternyata benar, dia berduri. Berarti akulah yang salah. Akulah yang tidak mau tahu. Egois dan ingin menang sendiri. Memaksamu untuk menerima semua cercaan dan kerancuan dariku.
            Tapi di dalam hati kecilku, aku masih berharap adakah kesempatan untukku lagi? Bukankah setangkai mawar itu memang indah. Tetapi alangkah indahnya, jika dia dirangkai bersama dengan setangkai mawar lainnya? Masih adakah kesempatan aku menjadi setangkai mawar lain itu? Atau biarlah aku cukup menjadi sepatu yang menemanimu berjalan kemana saja. Tanpa perlu kamu lihat kebawah lagi, kearah mana dia berjalan. Cukup dengan menggenggam setangkai mawar saja sebagai temanmu.

“Cinta sejati itu abadi, tanpa batas dan selalu menyukai dirinya. Cinta sejati itu seimbang dan murni, tanpa kekerasan. Cinta sejati tetap terlihat bersama memutihnya rambut namun selalu muda di hati.”
-(Honore de Balzac)-

No comments:

Post a Comment