0 Viewers

Thursday 19 September 2019

Bimbang

GEMA LIMA
Keputusan

            Aku pernah dihadapkan pada sebuah keputusan sulit dalam hubungan kita. Keputusan yang membuatku harus merasakan rasa sakit yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Jika aku boleh bertanya, apakah engkau juga Sayang? Bukan bermaksud untuk menggali informasi lebih dalam tentang perasaanmu dalam hubungan kita, tetapi hanya ingin mengobati rasa penasaran  yang muncul saat kenangan ini terulang kembali. Merasa sendiri, diacuhkan, tak berguna dan merana dalam sepi, seperti itulah perasaanku dulu saat menghadapi keputusan hubungan kita. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi berpikir, bagaimana aku harus bersikap dan berkata. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri. Aku hanya terduduk lesu di atas kursi penyesalan. Malas untuk bergerak. Seakan terhisap dalam mimpi tak berujung.
            Perasaan ini muncul kembali. Hari ini 19 September 2019, sebuah pukulan telak menghantam batas kesadaranku. Telak dan sakit. Rasa sepi, sendiri, diacuhkan, tak berguna dan merana dalam sepi, seketika dihadirkan dalam bentuk Oksigen segar yang harus segera kuhirup dalam-dalam, sebelum aku tersiksa dalam racun udara di sekitarku. Ternyata rasa sakit itu bisa muncul kembali. Kata siapa kita hanya bisa merasakan rasa sakit sekali saja, jika kita sudah pernah mengalaminya? Hhhh… Siapa yang mengatakannya? Ingin rasanya aku menyumpal rasa sadarnya dengan segumpal kekesalanku.
            Toh aku sekarang merasakannya sebanyak dua kali. Dua kali kawan. Dengan rasa sakit yang sama. Membuatku muak dan ingin berteriak. Sebab rasa sakit yang kedua kali ini lebih lama dari yang pertama. Sial. Aku menerimanya lagi. Seandainya aku bisa meminta yang lebih mudah, aku pasti meminta untuk mengurangi kadarnya, sedikit saja. Agar aku bisa menambahkan sedikit rasa senang di dalamnya. Bukan aku bermaksud untuk tidak mengakui keberadaanku sebagai mahluk tak berdaya di atas bumi ini, bukan… tapi wajar jika aku juga memintanya. Sedikit rasa senang di dalam suguhan rasa sakit yang ada, seperti sebuah tamparan keras yang bisa menyadarkanku, bahwa rasa sakit dan rasa senang sebenarnya sama. Agar aku juga sadar untuk jangan terlalu bahagia saat rasa sakit itu sudah pergi dan supaya aku terbiasa hidup dengan rasa sakit ini.
            Ini belum seberapa kawan. Masih banyak mahluk lain di sekitarku yang mungkin merasakan rasa sakit lebih dari apa yang kualami. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk jangan terlalu serius di dalam menghadapi rasa sakit ini. “Dibawa santai saja”, tagline sebuah produk makanan yang kubaca di halaman depan koran hari ini. Aku hanya bisa tersenyum. Ternyata koran pun juga bisa menghiburku. Lalu apa masalahnya, hingga aku begitu menghayati rasa sakit ini sampai ke akar-akarnya? Kenangannya? Iya, kenangan tentangmu Sayang. Kenangan yang menyertai rasa sakit ini.
            Rasa sakit dan rasa senang itu sebenarnya sama. Semuanya adalah rasa. Satu rasa. Tak beraroma. Tak berasa. Bahkan tak berwujud. Lalu kenapa bisa terasa berbeda, saat salah satu rasa itu kita terima? Mungkin jawabannya cuma satu. Karena kenangan kita saat rasa itu datang. Kenangan yang mengingatkan kita, kapan dan dimana saat rasa itu datang untuk pertama kalinya. Ahh… sepertinya cukup aku bercerita tentang rasa sakit dan rasa senang. Jangan terlalu panjang dan lebar. Sebab aku hanya ingin mengingatkan diriku sekali lagi, bukankah sekarang aku sedang merasakan rasa sakit?
            Masih sakit? Tentu saja. Lalu mengapa aku harus membaginya? Maka ijinkan aku merasakannya sejenak… Merasakan rasa sakit ini sambil bersandar di dinding kenyataan, bahwa engkau memang bukan milikku lagi, Sayang. 
           
"Melukiskanmu saat senja. Memanggil namamu ke ujung dunia. Tiada yang lebih pilu. Tiada yang menjawabku. Selain hatiku dan ombak berderu”
-(Dewi Lestari)-

No comments:

Post a Comment