0 Viewers

Wednesday 20 November 2019

Ini Aku

GEMA TUJUH
Batu

            Ada kalanya aku merasa seperti sebuah batu. Besar, berat, hitam dan kasar, teronggok di pinggir jalan diantara rumput dan pematang sawah, diacuhkan. Tidak ada orang lain yang mempedulikanku. Berdebu dan kotor. Terkadang diludahi. Terkadang dijadikan tempat duduk. Terkadang dicemooh karena mengganggu dan mengotori pemandangan di sekitarnya. Tak jarang orang lain dan dirimu menendangku dan mengotoriku. Bukan karena aku batu. Tapi karena bentuk dan keberadaanku yang tidak diinginkan.
            Seperti itulah makna kehadiranku di sisimu sekarang. Aku merasa tidak berarti. Sangat tidak berarti. Setiap kesalahan dan ketidak beraturan pada dirimu, pasti aku lah penyebabnya.
            “Tidak peka.” “Kurang perhatian.” Dan masih banyak lagi ungkapan menyakitkan itu keluar dari ucapanmu. Aku bukan tidak peka dan kurang perhatian. Aku juga tidak buta, tuli dan acuh. Aku masih berusaha memahami kehadiranku di sisimu saat ini. Aku masih meraba-raba arti diriku dalam garis perjalanan hidupmu.
            Engkau yang sekarang ada di hadapanku, adalah orang baru bagiku. Bukan engkau yang dua puluh tahun lalu kukenal. Keadaan inilah yang membuatku menjadi kikuk saat menghadapimu. Aku takut jika ucapanku menyakiti hatimu. Aku khawatir sikapku akan membuatmu merasa di acuhkan. Dan aku juga belum berani melangkahkan kakiku untuk maju sebagai pelindungmu.
            Jika maaf dapat menghapus setiap salah dan kikuk ku padamu, mungkin semua akan baik-baik saja. Tapi tidak. Bukan maaf yang engkau butuhkan. Sesuatu atau mungkin seseorang yang dapat memahamimu. Entah. Mungkin waktu dua tahun masih belum cukup untukku memahami setiap lekuk sikap dan intonasi ucapanmu. Salah menafsirkan setiap pertanda darimu, bagaikan perjuanganku menghindari desing peluru di medan perang. Begitu melelahkan dan penuh tantangan. Nyawa adalah taruhannya. Begitu rumit.
            Jika engkau melihatku sebodoh itu, mungkin aku memang sebodoh itu Sayang. Atau engkau melihatku acuh dan tidak peka terhadapmu, mungkin aku memang seperti itu.
            Aku sekarang paham, mengapa perasaan bahwa aku adalah batu, ada dalam diriku. Dengan segudang keburukan yang ada padaku, aku hanya terlihat olehmu memiliki dua kelebihan. Besar dan berat. Ya, aku adalah batu yang besar dan berat. Tidak semua orang suka melihatku berada di pinggir jalan, termasuk dirimu Sayang. Jika bisa engkau singkirkan, mungkin aku sudah engkau singkirkan. Tapi karena aku begitu besar dan berat, maka engkau memilih mengacuhkan saja keberadaanku. Toh aku juga tidak bisa kemana-mana.
            Aku juga ciptaan Tuhan. 20 November 2019, aku adalah batu, yang besar, berat, hitam dan kasar.
                                   
"Kata-kata lembut yang kita katakan kepada pasangan kita tersimpan di suatu tempat rahasia di surga. Pada suatu hari, mereka akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar, dan misteri cinta kita akan tumbuh bersemi di segala penjuru dunia.”
-(Jalaluddin Rumi)-

Wednesday 2 October 2019

Pilihan

GEMA ENAM
Arti Cinta

            Aku mencintaimu Sayang. Tapi engkau malah acuh. Rasa sakit yang muncul saat mencintai dan ditolak terasa lebih sakit dari rasa sakit saat kita dicintai dan menolak. Mencintai lebih membutuhkan pemahaman dan kesadaran, bahwa seseorang yang kita pilih adalah mahluk tanpa cela dalam setiap kata dan sikapnya. Pemahaman dan kesadaran inilah yang membuatku harus merasakan sakit dan terpuruk seperti sekarang.
            Jika engkau adalah mahluk tanpa cela, maka aku adalah pelengkapmu. Seperti itulah harapanku dulu. Saat kunyatakan maukah engkau menjadi milikku. Ternyata harapan tak seindah kenyataan. Engkau lebih memilih mencintai daripada dicintai. Memang terasa berbeda jika kita mencintai atau dicintai. Saat kita mencintai, energi yang ada di sekitar seakan ikut seirama di dalam senandung cinta. Begitu bersemangat. Penuh gelora. Tak terbantahkan. Militan dan siap berkorban.
            Berbeda dengan dicintai. Lebih terasa seperti kepasrahan dan tanpa usaha. Padahal sesungguhnya dicintai memiliki makna yang lebih dalam. Pengakuan orang lain terhadap diri kita, adalah salah satunya. Mengakui bahwa diri kita lebih berharga dan menjadi pilihan, dibandingkan lainnya. Mungkin karena ada unsur kepasrahan itulah, membuatmu merasa lebih memilih mencintai.
            Mencintai seseorang yang menjadi pilihan hatimu, membuat status dirimu sebagai orang yang dicintai olehku menjadi hilang. Memang dia lebih dari segalanya dibandingkan diriku. Lebih sabar, lebih pengertian, lebih bijak di dalam menyikapi setiap permasalahan dan lebih sayang padamu dibandingkan dengan diriku. Jauh panggang dari api, jika aku dibandingkan dengan dirinya.
            Jadi engkau tahu kan, alasanku akhir-akhir ini berusaha menghindar darimu? Salah tingkah, kikuk dan acuh, adalah ekspresi saat aku bertemu denganmu. Bukan karena aku sudah ingin menjauh darimu Sayang, tapi aku lebih memilih untuk berusaha melupakanmu. Berat sekali rasanya. Disaat aku memilih untuk maju dan berjuang, tapi engkau malah bertahan demi yang lain.
            Bodohnya aku, baru mengetahuinya sekarang. Semua pengorbanan perasaan dan hatiku untukmu, menjadi terlihat murahan. Tak sebanding dengan rasa mencintaimu padanya. Begitu penuh perasaan dan harapan. Sekarang aku sadar dimana aku harus berdiri dan pada siapa aku harus memilih. Jangan pernah menyalahkan cinta, sebab Sang Maha Cinta lah yang mengirimkannya. Jangan pernah mempertanyakan takdir, sebab Sang Maha Penentu lah yang memutuskannya. Tapi aku yakin, bahwa Sang Maha Pemberi tidak akan pernah keliru menjatuhkan Kasih-Nya pada hamba-Nya. Siapa yang dipilih-Nya, kita tidak akan pernah tahu. Bisa jadi aku, dia ataupun yang lainnya.
            Bukankah nasib seorang kaum, tidak akan berubah jika kaum itu sendiri tidak merubahnya? Berusaha saja, sambil kusandarkan beban hati dan perasaan ini pada-Nya. Sebab tidak akan ada kesia-sia an jika hanya pada-Nya kita berharap.
            Biar saja sekarang musik cintamu dimainkan bersamanya. Terdengar begitu mendayu dan syahdu. Aku akan memilih tetap berada disini, mensyukuri nikmat, bahwa aku pernah diberi rasa cinta kepadamu, Sayang.
                       
"Biarlah aku menanggung semua ini. Walau sedih menyiksa hati ini, ku patuhi semua suratan ini. Walaupun aku jauh dari sempurna, aku tetap menanti sepasang mata, matamu yang penuh cinta”
-(Ayat-ayat Cinta 2 - Krisdayanti)-

Thursday 19 September 2019

Bimbang

GEMA LIMA
Keputusan

            Aku pernah dihadapkan pada sebuah keputusan sulit dalam hubungan kita. Keputusan yang membuatku harus merasakan rasa sakit yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Jika aku boleh bertanya, apakah engkau juga Sayang? Bukan bermaksud untuk menggali informasi lebih dalam tentang perasaanmu dalam hubungan kita, tetapi hanya ingin mengobati rasa penasaran  yang muncul saat kenangan ini terulang kembali. Merasa sendiri, diacuhkan, tak berguna dan merana dalam sepi, seperti itulah perasaanku dulu saat menghadapi keputusan hubungan kita. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi berpikir, bagaimana aku harus bersikap dan berkata. Aku bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri. Aku hanya terduduk lesu di atas kursi penyesalan. Malas untuk bergerak. Seakan terhisap dalam mimpi tak berujung.
            Perasaan ini muncul kembali. Hari ini 19 September 2019, sebuah pukulan telak menghantam batas kesadaranku. Telak dan sakit. Rasa sepi, sendiri, diacuhkan, tak berguna dan merana dalam sepi, seketika dihadirkan dalam bentuk Oksigen segar yang harus segera kuhirup dalam-dalam, sebelum aku tersiksa dalam racun udara di sekitarku. Ternyata rasa sakit itu bisa muncul kembali. Kata siapa kita hanya bisa merasakan rasa sakit sekali saja, jika kita sudah pernah mengalaminya? Hhhh… Siapa yang mengatakannya? Ingin rasanya aku menyumpal rasa sadarnya dengan segumpal kekesalanku.
            Toh aku sekarang merasakannya sebanyak dua kali. Dua kali kawan. Dengan rasa sakit yang sama. Membuatku muak dan ingin berteriak. Sebab rasa sakit yang kedua kali ini lebih lama dari yang pertama. Sial. Aku menerimanya lagi. Seandainya aku bisa meminta yang lebih mudah, aku pasti meminta untuk mengurangi kadarnya, sedikit saja. Agar aku bisa menambahkan sedikit rasa senang di dalamnya. Bukan aku bermaksud untuk tidak mengakui keberadaanku sebagai mahluk tak berdaya di atas bumi ini, bukan… tapi wajar jika aku juga memintanya. Sedikit rasa senang di dalam suguhan rasa sakit yang ada, seperti sebuah tamparan keras yang bisa menyadarkanku, bahwa rasa sakit dan rasa senang sebenarnya sama. Agar aku juga sadar untuk jangan terlalu bahagia saat rasa sakit itu sudah pergi dan supaya aku terbiasa hidup dengan rasa sakit ini.
            Ini belum seberapa kawan. Masih banyak mahluk lain di sekitarku yang mungkin merasakan rasa sakit lebih dari apa yang kualami. Aku berusaha meyakinkan diriku untuk jangan terlalu serius di dalam menghadapi rasa sakit ini. “Dibawa santai saja”, tagline sebuah produk makanan yang kubaca di halaman depan koran hari ini. Aku hanya bisa tersenyum. Ternyata koran pun juga bisa menghiburku. Lalu apa masalahnya, hingga aku begitu menghayati rasa sakit ini sampai ke akar-akarnya? Kenangannya? Iya, kenangan tentangmu Sayang. Kenangan yang menyertai rasa sakit ini.
            Rasa sakit dan rasa senang itu sebenarnya sama. Semuanya adalah rasa. Satu rasa. Tak beraroma. Tak berasa. Bahkan tak berwujud. Lalu kenapa bisa terasa berbeda, saat salah satu rasa itu kita terima? Mungkin jawabannya cuma satu. Karena kenangan kita saat rasa itu datang. Kenangan yang mengingatkan kita, kapan dan dimana saat rasa itu datang untuk pertama kalinya. Ahh… sepertinya cukup aku bercerita tentang rasa sakit dan rasa senang. Jangan terlalu panjang dan lebar. Sebab aku hanya ingin mengingatkan diriku sekali lagi, bukankah sekarang aku sedang merasakan rasa sakit?
            Masih sakit? Tentu saja. Lalu mengapa aku harus membaginya? Maka ijinkan aku merasakannya sejenak… Merasakan rasa sakit ini sambil bersandar di dinding kenyataan, bahwa engkau memang bukan milikku lagi, Sayang. 
           
"Melukiskanmu saat senja. Memanggil namamu ke ujung dunia. Tiada yang lebih pilu. Tiada yang menjawabku. Selain hatiku dan ombak berderu”
-(Dewi Lestari)-

Sunday 18 August 2019

Keyakinan

GEMA EMPAT
Dimana aku?
           
            Mestinya aku tadi tidak mencoba untuk memulai percakapan denganmu. Tolol sekali diri ini. Sudah jelas bahwa engkau tidak mau mempedulikanku lagi, tapi aku malah berharap. Sesaat tadi memang sempat terpikir, bahwa mungkin saja kamu sudah tidak memikirkan dia lagi. Itu hanya alsanku satu-satunya kenapa aku berani memulai untuk mengajakmu bicara. Tapi jika aku tahu hasilnya akan tetap saja seperti sedia kala, mestinya aku berlari menghindar saja darimu.
            Seharusnya aku segera membayar pesananku segera, begitu aku melihat dirimu masuk ke rumah makan ini. Kalau kutahu dengan mengajakmu bicara, semakin menambah luka di hati ini menganga lagi, maka  betapa bodohnya aku. Mau memulai pembicaraan yang membuatku semakin terpuruk.
            Sosok dirinya begitu membuatmu terpesona. Rupanya hampir tidak ada waktu terbuang tanpa dirimu memikirkan dirinya. Aku yang mendengar, betapa engkau benar-benar merasa nyaman dengan dirinya, cukup membuatku tersadar, bahwa sejak setahun yang lalu, itulah awal aku mundur dari kewajibanku menemanimu. Aku sudah tidak memiliki kewajiban lagi untuk selalu memperhatikan langkahmu, mengawasi pilihan hatimu dan mengomentari setiap celoteh hidupmu. Aku bukan lagi laki-laki yang memiliki kewajiban untuk itu semua. “Kewajibanmu hanya mencukupi kebutuhan hidupku saja, bukan nafkah lainnya yang ada di pikiranmu”. Perkataanmu yang jelas dan tak terbantahkan lagi, telah membuatku tersadar. Bahwa inilah akhir dari segala kenangan tentang kita. Aku paham Sayang. Jadi tolong jangan engkau ingatkan aku setiap saat. Cukup sekali saja. Aku pasti paham. Aku tidak sebodoh itu Sayang untuk memahaminya.
Aku masih ingat saat aku mengajakmu berkendara terakhir kalinya. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Hampir tidak ada kata yang terucap. Kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Kita berhenti di depan taman kenangan kita dahulu. Taman yang menjadi saksi saat aku mengucapkan sayang pertama kali padamu.
Kita berdua berbicara, bercanda dan tertawa begitu santai. Masih duduk di dalam mobil, dengan kaca jendela terbuka ditemani alunan album The Best of Dewa19. Lagu Cinta ‘kan membawamu kembali, menjadi background saat aku menanyakan maukah dirimu menjadi gadis yang kusayang di hari-hari ku selanjutnya?
Entah karena lagu Dewa19 ataukah dirimu bingung menjawab pertanyaanku, engkau hanya mengatakan “Iya, boleh”. Sesederhana itu. Tapi tentu saja aku senang sekali. Engkau bukan kupilih karena keterpaksaan, tapi karena aku memang sayang kamu. Indahnya taman di depan kita, tidak lagi kuperhatikan. Anak-anak yang berlarian di sekitar air mancur begitu senang sekali. Teriakan khas anak-anak. Begitu ramai. Hamparan rumput di sekitar air mancur, terlihat begitu nyaman. Banyak yang duduk di atas rumput, tiduran bahkan membuka bekal makanan yang telah dibawa dari rumah. Rindangnya pohon akasia di sekitar taman, semakin menambah suasana taman menjadi arena hiburan yang tepat bagi keluarga.
Tapi saat ini, semua itu sudah tidak berarti lagi. Engkau masih saja diam dan tenggelam dalam pikiranmu. Aku belum berani untuk membuka percakapan diantara kita. “Aku tidak mau mengingat lagi semua ini. Tolong jangan engkau ingatkan lagi aku tentang semua kenangan kita. Aku ingin bebas”, engkau tiba-tiba membuka percakapan. Aku yang terkejut, hanya bisa menjawab “Baik, kalau memang itu keinginanmu”.
Baik Sayang, ini terakhir kalinya aku akan menempatkan dirimu di hatiku. Aku sudah siap untuk menutup sisa hatiku untukmu. Cukup bagiku semua kenangan tentangmu hingga hari ini. Semoga engkau mendapatkan apa yang engkau inginkan.
Mobil berjalan dengan perlahan dan pasti, mengantarkan dirimu ke rumah. Biar saja aku yang pergi, karena aku tidak pantas untuk berada di dekatmu lagi.
Setelah aku pergi meninggalkan rumahmu, tidak ada lagi yang kuingat. Hanya suara samar-samar yang kudengar, mengatakan bahwa aku membutuhkan penanganan segera karena aku tidak sadarkan diri di dalam mobil. Aku mencoba menggerakkan semua anggota tubuhku. Tapi tidak mampu. Dimanakah aku?
           
Aku hanya berharap dapat tidur dan tak pernah terbangun karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat menggantikan apa yang telah kamu ambil dariku...”
-(Sandy Cheney)-